Jumat, 01 Mei 2009

Hutan tinggal Mimpi

Hutan tinggal Mimpi

Oleh. Syamsul Marlin

Lima belas tahun yang lalu, Kakek mengajak saya masuk hutan Bukit Teranga, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Waktu itu, hari minggu kami diajak menelusuri anak sungai Bonecilla untuk sampai ke sumber mata air di hutan. Sambil berjalan, Kakek menjelaskan makna bunyi sahut-menyahut Monyet di atas pohon sebagai pertanda kenyangnya Monyet sehabis makan. Kakek mengajak saya menuju ke tempat ramainya Monyet bersahut-sahutan itu, lalu ia menunjuk pada sisa-sisa buah-buahan yang terbuang ke tanah oleh Monyet itu. Berkata Kakek, kalau Cucu tersesat di hutan dan menderita kelaparan, ikutilah bunyi Monyet lalu kenalilah sisa buah-buahan yang terbuang di tanah. Dan ketahuilah apa yang dimakan Monyet dan sejenisnya bisa pula dimakan oleh manusia, karena keadaan perut hewan ini serupa dengan perut manusia. Namun tidak begitu halnya dengan makanan burung. Apa yang di makan burung tidak cocok untuk perut manusia.



Sekarang ketika saya kembali ke tempat ini, betapa terkejutnya hati saya ketika menyaksikan kondisi kawasan hutan ini yang berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan, pertanian dan pemukiman penduduk. Penduduk yang semakin bertambah jumlahnya yang semula kecil dan sepi kini menjadi besar dan ramai dengan bermacam-macam alat canggih dan modern hiruk-pikuk menghalau kesunyian. Saya mencari hutan tempat mata kami menemukan kekuasaan dan kebesaran Illahi, namun sia-sia. Yang tampak adalah sisa-sisa dan puing-puing potongan kayu hingga tumpukan gergajian. Dan kepahitan mengisi hati ketika sebagian dari kenangan hidup terasa terpotong oleh rantai-rantai dari berbagai alat modern. Kepahitan yang tumbuh dalam hati inilah kembali terkuak ketika melihat truk-truk yang mengangkut kayu dan bambu tiap hari. Nah pertanyaan yang muncul adalah Sampai kapan Kayu berhenti diangkut?

Meskipun kita telah memiliki berbagai Undang-undang yang mengatur kehutanan dan senantiasa direvisi untuk disempurnakan sesuai dengan tuntutan zaman. Terlepas dari berbagai kelemahan dalam Undang-undang, yang paling merisaukan adalah pemikiran kita yang hanya menilai hutan dari segi harga kayu yang dihasilkannya dan nilai tanah yang ditutupinya. Hutan hanya diukur menurut alat kebijakan yang mencakup hanya dari segi ekonomi. Pada hal kita tidak merekam jasa ekologi lingkungan yang dihasilkan oleh hutan, berupa udara bersih, pencegah erosi dan banjir, penghasil mata air, dan sebagainya yang akan memperpanjang keberlangsungan kehidupan.

Berbagai usaha yang ditempuh untuk menutupi segala kebocoran yang kita timbulkan dalam dunia kehutanan sebagai bentuk partisipsi dalam penyelamatan bumi ini sangat beraneka ragam macamnya. Misalnya kebijakan pemerintah dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNR-HL) yang membutuhkan dana bermilyar-milyar Rupiah dalam setiap tahunnya, sumbangan negara-negara dunia kepada Negara penghasil Carbon, tindakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di dunia Lingkungan hidup, dll. Ini semua dalam tataran nasional dan internasional.

Tanggal 4 April lalu, berbagai lembaga kemahasiswaan melakukan aksi damai lingkungan sebagai bentuk partisipasi dalam memperingati hari bumi se-dunia. Di Universitas Hasanuddin misalnya ada yang memperingati hari bumi dengan cara seminar nasional, lomba foto tentang lingkungan, pembagian bibit, pembagian bunga, sosialisasi lewat orasi di jalan-jalan, serta pembagian stiker yang bertemakan perlindungan bumi.

Hal inilah yang dilakukan untuk menyelamatkan bumi baik individu maupun kelompok yang bergerak dalam pencinta alam dan lingkungan hidup. Mudah-mudahan hal ini adalah keikhlasan semata tanpa ada intervensi dari pihak siapa pun. Buktinya tidak ada semacam evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan. Hanya memperingati pada saat hari H-nya dan begitu 2-3 bulan hilang peringatan seperti itu hingga datang tanggal dan bulan yang sama dengan tahun yang berbeda dan diperingati kembali. Intinya tradisi tahunan.

Saya ingat kata salah seorang Dosen Fakultas Kehutanan yang mengatakan bahwa seandainya semua yang telah dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam hal penanaman itu berhasil, maka lautan di nusantara akan penuh dengan tanaman-tanaman. Hanya saja, semua penanaman yang dilakukan gagal alias tidak ada yang berhasil.

Menanam itu gampang kawan. Tetapi marilah kita menanam, merawat, menjaga dan menumbuhkan pohon dengan tangan sendiri.

Read rest of entry

Budaya Suku Tolaki Kolaka Utara


Kolaka Utara Propinsi Sulawesi Tenggara selain kaya dengan hasil tambang, juga kaya dengan budaya masyarakat Tolaki sebagai Suku Asli. Kabupaten yang terbentuk tiga tahun itu, dikunjungi Syamsul Marlin sebagai peserta Praktek Umum (PU) Gelombang XIX Fakultas Kehutanan Unhas dan sebagai Kru identitas ingin berbagi pengalaman.

Perjalanan kami awali dengan meninggalkan Makassar, Rabu (11/02) menuju kota Malili dengan angkutan darat Bus dengan waktu tempuh selama 12 jam. Tim PU Syamsul Marlin Ketua Tim, Hilal, Andi Ihsan Idris, Hikmawati Rijal, Ulfia Rifka, Ema Efrianti, dan Wa ode Asrawati masing-masing sebagai anggota tiba di terminal Malili pukul 08.00 WITA Kamis (12/02).

Di terminal Malili kami bertuju menuju lokasi camp PT. Tiar Bungin Elok sebuah perusahaan sawasta Nasional yang bergerak dalam bidang pengusahaan hasil hutan kayu tempat PU kami dengan menggunakan Strada 4WD hitam. Sepanjang perjalanan nampak pemandangan yang begitu menyejukkan hati dengan tumbuhan hijau dan laut yang membentang luas sepanjang garis pantai yang mengikuti lekukan jalan pulau Sulawesi bagian utara Sulawesi Tenggara. Tugu perbatasan propinsi Sulawesi Selatan dan propinsi Sulawesi Tenggara menandakan lokasi semakin dekat dan akhirnya kami tiba pukul 09.00 WITA di Camp tempat tinggal kami selama melakukan PU.

Cerita Rakyat Suku Tolaki

Masyarakat Suku Tolaki mempunyai Cerita bahwa keturunan Asli mereka berasal dari bidadari yang turun langsung dari Khayangan. Awalnya tuju bidadari turun dari langit dan mandi di sebuah kolam Bumi (Tesahano Melangge). Kemudian salah seorang yang bernama Oheo mengintai bidadari tersebut yang sedang mandi dan menemukan baju dari saudara sulung bidadari tuju tersebut.

Putri sulung tidak dapat terbang karena baju yang dia miliki telah diambil oleh Oheo dan akhirnya dia ditinggal oleh saudara-saudaranya di Bumi. Muncullah Oheo dengan penampilan yang tidak bersalah mendekati Putri Sulung yang sedang menangis. Ia pun dinikahi oleh Oheo dengan syarat satu permintaannya yaitu disaat punya anak kelak dia tidak bisa mencucikan anaknya dikala dia buang air.

Mereka berdua pun dikaruniai seorang anak laki-laki dan disaat anak dari mereka buang air Oheo menyuruh istrinya putri sulung tersebut untuk membersihkan dengan tangannya sendiri. Syarat perjanjianpun dilanggarnya, dan akhirnya putri sulung menangis hingga menemukan pakaiannya yang selama ini, telah disembunyikan oleh Oheo. Putri Sulung pun langsung terbang ke langit. Oheo pun dengan penuh penyesalan meminta bantuan pada salah satu jenis tumbuhan rotan untuk diantarnya ke langit dimana tempat istrinya putri sulung berada.

Dengan beberapa syarat dari ayah putri sulung yang diberikan kepada Oheo dengan begitu berat, sehingga ia pun ketemu langsung dengan istrinya. Hingga akhirnya diizinkanlah putri sulung oleh ayahnya untuk kembali ke bumi bersama dengan Oheo dan anaknya. Sehingga terjadi keturunan anak-pianak yang selanjutnya disebut suku Tolaki.

Adapun lokasi sebagai bukti sejarah cerita rakyat ini yaitu kolam tempat bidadari mandi disebut Tesahano melangge, Kolam bekas kebun tebu Oheo disebut Ranososonggo. Dan batu uku tempat Oheo, istri, dan anaknya jatuh dari langit, serta rotan langit yang berambat dan berusaha memanjat ke langit dapat kita jumpai di lokasi ini.

Tahapan Perjalanan Sejarah Masyarakat

Beberapa tahapan perjalanan sejarah yang dialami oleh keturunan bidadari Suku Tolaki Kolaka Utara yang berdomisili pada tiga kampung lama yaitu Piau, Arupe, dan Alamande telah mengalami beberapa pergeseran. Mulai dari zaman animisme atau sebelum Islam, setelah Islam masuk, dan zaman penjajahan serta zaman pergerakan DI/TII Kahar Muzakkar.

Zaman animisme atau sebelum Islam masuk ditandai oleh beberapa kuburan batu yang dapat kita jumpai pada beberapa gua batu. Di sana terdapat dua pekuburan besar yang merupakan lokasi pekuburan yaitu Kumomu dan Hulu Sungai Piau. Di sini kita dapat menjumpai tengkorak kepala dan tulang kaki serta beberapa peti mayat yang digunakan sebagai tempat pengawetan mayat. Menurut Palaguna (89 tahun) memberikan keterangan bahwa di zaman ini masih sering melakukan perang antar kampung hal ini dibuktikan pada beberapa gua tulang-tulang berserakan dengan tidak diberikan perlakuan secara khusus sebagai mana layaknya.

Zaman setelah masuknya Islam ditandai oleh beberapa peninggalan. Di sana kita dapat menjumpai pekuburan Islam dan pada Pekuburan Islam ini unik dari Pekuburan Islam sekarang. Ada pun keunikannya yaitu dalam satu rumpun keturunan kuburannya berbentuk satu jalur yang lurus dan memanjang. Pinggirannya pun tidak dikelilingi batu tetapi hanya berbentuk gundukan tanah.

Zaman penjajahan yang dialami oleh masyarakat bergonta-ganti. Mulai dari Belanda, Jepang, hingga pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kahar Muzakkar telah dilalui oleh masyarakat Tolaki. Palaguna yang merasakan sendiri pahit dan manisnya di jajah memberikan gambaran bahwa perlakuan yang paling berat dia rasakan adalah masa DI/TII Kahar Muzakkar.

Tahun 1966 Tentara Siliwangi melakukan operasi Tuntas dengan menyingkirkan masyarakat ke lokasi perkampungan baru (Desa Musiku sekarang). Semua dibakar oleh tentara Siliwangi termasuk lumbung padi sehingga tidak ada yang tinggal dilokasi itu lagi. Ada pun lokasi bukti sejarahnya yaitu Hulu Sungai lasolo lokasi tertembaknya Kahar Muzakkar, Pohon Beringin Pos persembunyian Tentara Siliwangi.

Lokasi Bersejarah dan Budaya Lainnya

Adapun lokasi bersejarah lainnya yaitu di lokasi ini terdapat tengkorak merah (Ondulo) di dalam sebuah gua, terdapat Batu yang menyerupai Babi yang telah tertombak (Alo’-Alo’), Batas Tirahuta (Batas yang dibuat oleh Belanda/pohon cempedak sepanjang punggungan gunung) sebagai batas Kendari dan Kolaka dimana sungai-sungai yang masuk di wilayah kendari hulunya di sungai Lasolo, dan sungai-sungai di wilayah Kolaka mengalir ke sungai Malili. Selain itu, banyak sungai yang mengalir di bawah tanah.

Selain tempat tersebut terdapat permandian air terjun sarambu, pantai pasir putih, tanjung bake, bekas tapak kaki raksasa Onggabo, dan puncak tertinggi Sulawesi Tenggara Gunung Tanggaliboke.

Adapun beberapa budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat Tolaki seperti tarian tradisional Lulo yang disajikan pada saat pesta pernikahan, kemudian masyarakat memiliki gong yang memiliki 3 pusat, dan selimut yang terbuat dari kulit kayu, serta banyak harta karun yang tertimbun di dalam gua dan beberapa diantaranya telah ditemukan oleh masyarakat seperti guci, piring anti basi, uang koin benggol, dan beberapa alat pusaka keris dan sejenisnya.

Syamsul Marlin

Read rest of entry